Wagashi adalah cemilan manis tradisional Jepang yang biasanya disajikan bersama teh, terutama matcha. Dibuat dari bahan alami seperti tepung beras, kacang merah, agar-agar, dan gula wagashi menampilkan kesederhanaan dalam rasa dan tampilan. Lebih dari sekadar makanan, setiap wagashi adalah karya seni yang mencerminkan filosofi wabi-sabi, yaitu keindahan yang ditemukan dalam kesederhanaan, ketidaksempurnaan, dan kefanaan. Dengan bentuk yang halus dan penuh makna, wagashi menjadi simbol estetik dalam budaya minum teh Jepang.
(1) Dokumentasi Wagashi Hijau oleh Douglas Perkins, CC0. (2) Dokumentasi Kue Wagashi oleh Douglas Perkins, CC0
Keunikan wagashi terletak pada keterkaitannya dengan musim. Para pembuat wagashi secara cermat menyesuaikan bentuk, warna, dan bahan berdasarkan musim yang sedang berlangsung. Pada musim semi, kue-kue sakura mochi menggambarkan bunga sakura yang sedang mekar, sedangkan musim panas menghadirkan kue berbasis jelly yang menyegarkan seperti mizu-yokan. Musim gugur dan musim dingin masing-masing ditandai dengan bentuk daun gugur dan motif tahun baru seperti hanabira mochi, menunjukkan bahwa wagashi adalah refleksi visual dan rasa dari siklus alam.
(1) Dokumentasi Wagashi Sakura Mochi oleh Ocdp, CC0. (2) Dokumentasi Wagashi Hanabira Mochi oleh foodinjapan.org
Selain visual yang menawan, wagashi juga berperan penting dalam ritual minum teh. Disajikan sebelum teh diseruput, manisnya wagashi membantu menyeimbangkan rasa pahit teh, sekaligus menyiapkan lidah untuk pengalaman yang lebih dalam. Perpaduan ini bukan hanya soal rasa, tetapi juga bagian dari tradisi dan tata krama Jepang yang menghargai momen, suasana, dan keterhubungan dengan alam. Karena berbahan nabati dan dibuat sesuai musim, wagashi juga mencerminkan prinsip keberlanjutan dan menghargai sumber daya alam.
(1) Dokumentasi Wagashi dan Teh Hijau oleh Andy Li, CC0. (2) Dokumentasi Wagashi bersama Teh Hijau oleh MShades, CC BY 2.0
Dengan nama-nama yang puitis dan bentuk yang menggambarkan alam atau perayaan, setiap wagashi mengandung narasi budaya. Ia bukan sekadar makanan penutup, melainkan perwujudan nilai estetika, spiritualitas, dan sejarah Jepang yang dikemas dalam bentuk kecil dan halus. Melalui wagashi, kita diajak untuk menikmati bukan hanya rasa, tetapi juga keindahan yang berumur pendek, sebuah bentuk meditasi akan waktu, musim, dan seni hidup.
Ditulis oleh Noverdy R
Referensi:
- Ogawa, P. (2024). The Intricate Art of Wagashi, a Centuries-Old Japanese Pastry. Bon Appétit.
- Zenbird Media. (2024). Wagashi: History and Sustainability of Japanese Sweets.
- Tokyo Wagashi Association. About Wagashi. Japan Wagashi Association.