Pelabuhan Sunda Kelapa pada awal abad ke-16 berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang dipimpin oleh Raja Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi). Namun, ekspansi Kesultanan Demak di Pulau Jawa menimbulkan kekhawatiran bagi Pajajaran. Untuk mengimbangi kekuatan Demak, pada tahun 1522, Pajajaran menjalin kerja sama dengan Portugis di Malaka. Dalam perjanjian ini, Portugis diizinkan membangun benteng di Sunda Kelapa dan diberi hak monopoli perdagangan lada, sebagai imbalan atas perlindungan terhadap Kerajaan Pajajaran.
Ilustrasi Jayakarta sekitar tahun 1605-1608 dan pelabuhan sunda kelapa oleh indonesia-dutchcolonialheritage.nl
Sayangnya, Portugis gagal menepati janji untuk kembali ke Sunda Kelapa pada tahun berikutnya guna membangun benteng, karena sibuk menangani konflik di koloni mereka di India. Bagi Demak, aliansi antara Pajajaran dan Portugis ini dianggap sebagai ancaman nyata akan datangnya invasi asing ke Pulau Jawa. Sebagai bentuk respon, pada tahun 1526, Kesultanan Demak mengirimkan pasukan di bawah pimpinan panglima perang Fatahillah untuk merebut Sunda Kelapa. Serangan ini berhasil dan Sunda Kelapa pun jatuh ke tangan Demak.
Ilustrasi perang Fatahillah oleh Maritim News
Setahun kemudian, tepatnya pada 22 Juni 1527, ekspedisi Portugis tiba kembali di Sunda Kelapa dengan maksud membangun benteng. Namun mereka tidak menyadari bahwa wilayah tersebut telah dikuasai Demak. Portugis akhirnya dipukul mundur oleh pasukan Demak.
Atas kemenangan gemilang ini, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang berarti “kemenangan yang gemilang.” Nama Jayakarta terus digunakan hingga tahun 1619, sebelum akhirnya berubah menjadi Batavia di bawah kekuasaan Belanda.
--
Referensi:
Hapsari, R., & Adil, M. (2021). IPS Sejarah. Jakarta: Erlangga.