Frida Kahlo bukan hanya seorang seniman ikonik, tetapi juga sosok yang menjadikan karya seni sebagai jalan untuk memahami dan menyembuhkan luka batin maupun fisik. Sejak usia muda, Frida menghadapi penderitaan berat, yaitu polio di masa kecil dan kecelakaan tragis yang merusak tulang belakang serta organ tubuhnya. Pengalaman menyakitkan ini menjadi elemen sentral dalam banyak lukisannya. Dalam The Broken Column, misalnya, ia menggambarkan dirinya dengan tulang belakang retak sebagai metafora penderitaannya. Tubuh Frida tak sekadar jadi objek dalam lukisan, tetapi juga wadah ekspresi emosional yang mencerminkan upayanya berdamai dengan rasa sakit yang konstan.
(1) Dokumentasi Foto Frida Kahlo (1940) oleh Michael Ochs, (1) Foto Lukisan The Broken Column via Daily Art Magazine
Namun penderitaan Frida tidak berhenti pada aspek fisik. Ia juga mengalami trauma emosional yang mendalam. Frida menuangkan kesedihan ini dalam berbagai lukisan dan catatan harian yang sangat personal. Melalui lukisan, ia menyampaikan perasaannya tanpa harus berkata-kata, seolah-olah setiap goresan kuas adalah bentuk terapi. Ia tidak menyembunyikan rasa sakitnya, tetapi justru memamerkannya sebagai bentuk perlawanan terhadap norma sosial yang menuntut perempuan untuk tegar dan diam dalam penderitaan.
Dokumentasi karya Frida Kahlo di Museum Seni Gropius Bau, Jerman (2010)
Salah satu kekuatan Frida terletak pada bagaimana ia mengaburkan batas antara tubuh pribadi dan simbol budaya. Ia kerap memakai pakaian adat Meksiko dan menghadirkan simbol-simbol Pribumi dalam karyanya sebagai bentuk kebanggaan identitas. Di sisi lain, ia juga mengeksplorasi sisi maskulin dalam dirinya, bahkan menciptakan potret diri dengan karakteristik androgini. Hal ini menjadikan identitasnya sebagai medan yang terus berubah yang mencerminkan pergulatan batin sekaligus pernyataan diri yang kuat. Frida tak hanya melukis siapa dirinya, tapi juga siapa yang ingin ia tunjukkan kepada dunia.
Dokumentasi Karya-karya Frida Kahlo (Self Portrait with the Portrait of Doctor Farill 1951, The Two Fridas 1939, dan Tree of Hope Remain Strong 1946) via CNN Style
(1) Dokumentasi Foto Frida Kahlo di Throckmorton Fine Art, New York (1944) via Website Denver Art Museum, (2) Dokumentasi Foto Frida Kahlo oleh Nickolas Muray via CNN
Dengan demikian, Frida Kahlo menggunakan seni bukan hanya sebagai ekspresi kreatif, tetapi juga sebagai alat penyembuhan diri yang mendalam. Trauma, tubuh, dan identitas menjadi tiga poros utama dalam karyanya yang saling terhubung. Ia menjadikan kanvas sebagai ruang terbuka untuk menggambarkan rasa sakit dan merekonstruksi jati dirinya. Warisan Frida menginspirasi dunia seni dan feminisme, menunjukkan bahwa seni otobiografi mampu menjadi bentuk terapi yang membebaskan dan memperkuat kembali individu yang terluka.
Ditulis oleh Noverdy R
Referensi:
- Courtney, C. A., O’Hearn, M. A., & Franck, C. C. (2017). Frida Kahlo: Portrait of Chronic Pain. Physical Therapy, 97(1), 90–96.
- Turkheimer, F., Liu, J., Fagerholm, E. D., Dazzan, P., Loggia, M. L., & Bettelheim, E. (2022). The art of pain: A quantitative color analysis of the self‑portraits of Frida Kahlo. Frontiers in Human Neuroscience, 16, 1000656.
- Serrato, A. C., & Candiotto, J. F. (2025). The Kenotic Dimension in the Work of Frida Kahlo: Contributions to Latin American Theology. Religions, 16(3), 342.

